Mursyid Tarekat Khalwatiyah
Syekh Yusuf
al-Makassariy
A. Kedudukan Mursyid
Istilah mursyid dalam tarekat lebih
akrab disebut pembimbing spiritual, yakni seorang imam sekaligus guru yang
dapat mengantarkan jamaah untuk sampai kepada Allah (ma’rifatullah)
sesuai ajaran al-Qur’an dan Sunnah.
Mursyid ini lazimnya juga disebut syekh,
kedudukan nya sebagai imam yang bisa menunjukkan jamaahnya ke jalan benar dan
menuntun jamaah dalam beribadah kepada Allah swt secara baik dan benar serta
mencintai rasul-Nya.
Syarat utama seorang Mursyid memiliki
silsilah sanad dan ilmu yang sampai kepada Rasulullah saw secara muttasil
(saling berantai-sambung-menyambung, tidak terputus) dari guru-gurunya, mursyid
ke mursyid sampai kepada Rasulullah saw.
Untuk
mengenal dan memahami tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf secara muttasil itu,
perlu dikemukakan secara ringkas biografi para mursyid tarekat yang memiliki
pengaruh besar, yakni Syekh Yusuf Rahimahumullah dan mursyid setelahnya sampai Mursyid
pada silsilah ke 11, Allahu Yarham Puang Ramma QS dan mursyid era sekarang,
Puang Makka.
B. Syekh Yusuf Rahimahumullah
Nama
lengkapnya, Syekh YĆ«suf AbĆ« al-MạhÄsin
HadiyatullÄh TÄj al-KhalwatÄ«y al-MakassarÄ«y, lahir 3 Juli 1626 M/8 Syawal 1036
H, wafat 23 Mei 1699 M/22 Dzulqaidah 1110 H dalam usia 73 tahun berdasarkan
perhitungan tahun Masehi.
Syekh YĆ«suf
Rahimahumulah sejak kecil mulai khatam al-Qur’an, dan di tahun 1634 saat beliau
berusia saat berusia 9 tahun, mulai belajar bahasa Arab, ManĆŁiq, Fikih, Tauhid
dan lain-lain pada lembaga pendidikan Islam di Mesjid Bontoala yang diasuh
langsung oleh Sayyid Ba’ Alwi Assegaf, atau di daerah ini sayyid tersebut lebih
dikenal dengan nama Tuan Keramat.
Tahun 1641
atau saat Syekh Yusuf Rahimahumullah berusia 15 tahun, melanjutkan pelajarannya
guna lebih memperdalam ilmu keagamaan di Cokoang berguru pada Sayyid Jalaluddin
al-Aidid.
Tahun 1644 atau saat Syekh Yusuf
Rahimahumullah berusia 18 tahun, berangkat ke tanah suci untuk menunai-kan
ibadah haji dan tentunya untuk lebih mengasah ilmu kesufiannya di hadapan
beberapa ulama tarekat. Gurunya di Mekah adalah Sayyid Hasan bin Ali bin Umar
bi Yahya al-Makki dan Sayyid Ibnu Abdullah Muhammad bin Muhammad Azzatii
al-Naqsyabandiy. Sedangkan gurunya di Madinah adalah Sayyid Maulana Ibrahim bin
Hasan bin Syihabuddin al-Kurdiy al-Madniy dan Sayyid Muhammad al-Marzu.
Syekh Yusuf
Rahimahumullah berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan untuk
lebih memper-dalam ilmunya di hadapan empat guru/ulama tarekat yang disebutkan
di atas, karena berkat rekomendasi dari kedua gurunya, di Bontoala dan Cikoang.
Sebelum berangkat, Syekh Yusuf Rahimahumullah menikah dengan Sitti Daeng
Nisanga, putri Raja Gowa Tu Menanga ri Tappana.
Syekh Yusuf
Rahimahumullah berangkat ke tanah suci pada hari Rabu tanggal 22/09/1645
bertepatan dengan 17 Rajab 1056. Dalam perjalanannya, sempat singgah di Banten
dan Aceh kemudian saat tiba di tanah suci, Syekh Yusuf Rahimahumullah
menyampaikan dua pucuk surat ke Mufti di Mekkah-Madinah. Surat tersebut dari
kedua gurunya yang merekomendasikan, Sayyid Ba’Alwi di Bontoala dan Sayyid
Jalaluddin di Cikoang. Dengan begitu, maka Syekh Yusuf Rahimahumullah
mendapatkan pelayanan khusus terutama dalam menimbah ilmu di wilayah Timur
Tengah dan sekitarnya.
Sebagai sufi
yang tawadhu dan kharismatik, juga karena kehausannya terhadap ilmu tarekat,
maka Syekh Yusuf Rahimahumullah tidak puas mencari guru, sehingga dari Mekah
dan Madinah mengembara ke Yaman untuk belajar di hadapan Sayyid Muhammad ibn
Wajih Assa’dy al-Yamani dan Sayyid Maulana Baqy al-Naqsyabandiy. Selanjutnya di
Bagdad berguru pada Sayyid Abul al-Madniy, Sayyid Muhammad bin Fadlillah
al-Burhan dan Sayyid Ayyubi bin Ahmad bin Ayyuby al-Khalwatiy.
Guru-guru
Syekh Yusuf Rahimahumullah yang telah disebutkan, baik saat di belajar Bontola,
Cikoang, Mekah, Madinah, Yaman dan Bagdad, semuanya sayyid dari garis keturunan
Nabi Muhammad saw, mereka adalah cucu Rasululllah saw berdasarkan pengakuan Syekh
Yusuf Rahimahumullah, yang ditulis dalam karyanya, Zubdatul Asrar, halaman 59.
Salah satu
gurunya yang disebutkan, yakni Sayyid Ayyubi bin Ahmad bin Ayyuby al-Khalwatiy,
mengijazah-kan tarekrat sekaligus gelar Hadiyatullah Taj al-Khalwatiy kepada
Syekh Yusuf Rahimahumullah, sebuah gelar kemuliaan pengesahan untuk mengembangkan
tarekat Khalwatiyah.
Sama halnya dengan penamaan AbĆ« al-MạhÄsin adalah gelar kehormatan yang lazim dianugerahkan kepada
orang saleh, dan di daerah asalnya pertama kali belajar tarekat, yakni di
Makassar digelar sebagai Tuanta Salamaka,
tuan kita yang memperoleh berkah
keselamatan.
Dengan
gelar kehormatan dan karena kedalaman ilmu-nya maka Syekh Yusuf Rahimahumullah
mendapat amanah sekaligus kepercayaan untuk mengajar selama 50 tahun di Jazirah
Arabiah, di Yaman, Bagdad, Syiria, Mesir dan selainnya, sehingga murid-muridnya
semakin banyak dan dalam berbagai kesempatan beliau menulis banyak buku dan
risalah.
Buku dan
risalah sebagai karya ilmiahnya di bidang tasauf yang terwarisnya sampai saat
ini, antara lain Wahdah al-Muwahhidin, Safinat al-Najah, Sir al-Asrar, Taj
al-Asrar, Zubdat al-Asrar, Nafhat al-Sailaniyah, al-Futuhat al-Arabaniah,
al-Tuhfat Labib. Selain itu berbagai karya ilmiah untuk disiplin ilmu
keagamaan ditulisnya saat Syekh Yusuf Rahimahumullah dalam pengasingan di Cape
Town Srilangka Afrika Selatan sampai wafat dalam usia 73 tahun dan di makamnya
di sana. Atas
permintaan raja dan murid-muridnya, maka jenazah Syekh YĆ«suf kembali dimakam kan
di Lakiung Gowa, tanggal 5 April 1705. Areal makamnya disebut Kobbang (bangunan
kubah). Selain di Lakiung, dipercaya bahwa jenazah dan makam Syekh YĆ«suf
Rahimahumullah tetap masih ada di Cape Town, Afrika Selatan. Bahkan dipercaya
pula makamnya ada di Banten. Sejarah menyaksikan bahwa kesemua makam tersebut
asli, karena utuh dengan jasadnya.
Khusus di Lakiung Gowa, saat jenazah
Syekh Yusuf Rahimahumullah tiba dan peti jenazah tersebut dibuka, terlihat
jasadnya utuh dan segar seperti orang yang baru meninggal kemudian diupacarakan
dan dimakamkan
C. Mursyid/Masyayikh Pasca Syekh Yusuf
Rahimahumullah
Pasca wafatnya Syekh Yusuf Rahimahumullah, murid dan
pengikut, terutama mursyid, para khalifah setelahnya mengembangkan tarekat yang
diwariskannya, bahkan saat masih dalam pengasingannya, murid sekaligus khalifah
yang setia mendampinginya sejak di Mekkah, Abul Fatih Abdul Bashir Tuang
Rappang, diutus ke Gowa-Makassar untuk misi tersebut.
Tuang
Rappang tiba di Gowa tahun 1678 M, tepatnya 7 Muharram 1089 H, masa
pemerintahan Raja Gowa ke-19, Sultan Abd al-Jalil (1677-1709). Di sini Tuang Rappang
memulai misinya mengajarkan tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf di istana Kerajaan,
kemudian berlanjut di kalangan ilmuan/ulama setempat.
Di istana
kerajaan Gowa, Tuang Rappang mengangkat Sultan Abdul Qadir Karaeng Majannang
sebagai badal khalifah, yang kelak kemudian hari menjadi mangkubumi Kerajaan
Gowa pada masa raja ke 24, I Mallawa Gau Sultan Abdul Khaer (1735-1737).
Karaeng Majannang inilah memiliki peran penting dalam mengembangkan Tarekat
Khalwatiyah Syekh Yusuf di petinggi Kerajaan Gowa dan di kalangan masyarakat
makassar pasca Tuang Rappang.
Di istana
Kerajaan Bone, Tuang Rappang mengangkat Sultan Alimuddin Idris Lapatau sebagai
badal khalifah, Raja Bone ke-15 (1696-1714), kemenakan Arung Palakka yang memiliki
peran penting dalam menyebarkan tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf di daerah Bugis.
Di kalangan
ilmuan/ulama, Tuan Rappang meng-angkat Syekh Abu Said al-Fadhil sebagai badal
khalifah, selanjutnya diwariskannya ke Syekh Abd. Majid Nuruddin. Keduanya
ulama berasal Aceh, Sumatera yang belajar di Bontoala.
Syekh Abd.
Majid Nuruddin kemudian memindahkan sekaligus mengembalikan ijazah tarekat Khalwatiyah
Syekh Yusuf ke cucu Sayyid Ba’Alwi Assegaf, guru Syekh Yusuf Rahimahumullah,
yakni Sayyid Abdul Gaffar Assegaf sebagai pelanjut kakeknya.
Sayyid
Abdul Gaffar Assegaf sebagai mursyid dan Qadhi Bontoala (1759-1814), sekaligus
pengasuh pengajian tasawuf di Bontoala, sebuah lembaga pendidikan tempat Syekh
Yusuf Rahimahumullah belajar sebelumnya, meng-ijazahkan tongkat kemursyidan
kepada anaknya, Sayyid Muhammad Zainuddin bin Abdul Gaffar Assegaf.
Sayyid
Zainuddin Assegaf kemudian mengijazahkan kemursyidan Tarekat Khalwatiyah Syekh
Yusuf kepada dua putarnya, Sayyid Ali bin Zainuddin Petta Tila dan Sayyid
Tajuddin bin Zainuddin Assegaf.
Petta Tila kemudian
mengijazahkan kemursyidan Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf kepada anaknya,
Sayyid Hasan Assegaf Petta Bobba, demikian pula Sayyid Tajuddin Assegaf
mengijazahkan kepada anaknya, Ismail Assegaf.
Petta Bobba
kemudian mengijazahkan kemursyidan Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf kepada
anaknya Sayyid Ibn Hajar Assegaf Petta Sese, sedangkan Ismail Assegaf mengijazahkan
kepada anaknya, Abdul Gaffar Assegaf.
Petta Sese
kemudian mengijazahkan kemursyidan Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf kepada
anaknya Abdul Malik Assegaf Petta Rabba, sedangkan Abdul Gaffar Assegaf
mengijazahkan kepada anaknya Sayyid Ruhain Assegaf Tuang Makka, yang seorang
putrinya bernama Syarifah Mukminah yang dipersunting oleh Syekh Sayyid
Jamaluddin Assegaf Puang Ramma.
Petta Rabba
kemudian mengijazahkan kemursyidan Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf kepada
cucunya, Syekh Sayyid Jamaluddin Assegaf Puang Ramma, menantu Sayyid Ruhain
Assegaf Tuang Makka.
Puang Ramma
kemudian mengijazahkan kemursyidan Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf kepada
anaknya, Syekh Sayyid Abd Rahim Assegaf Puang Makka, dan kepada
saudara-saudaranya.
Berdasarkan
data di atas, dipahami bahwa kemursyidan Puang Ramma memiliki silsilah dua
jalur secara muttasil sampai ke bebuyutnya, Zainuddin Assegaf. Pertama, melalui
silsilah tarekat neneknya dan yang kedua melalui silsilah nasab mertuanya,
sebagaimana digambarkan (lihat insert gambar)
Selanjutnya
secara lengkap silsilah sanad tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf al-Makassariy,
pasca Syekh Yusuf Rahimahumullah dan sebelumnya sampai ke Rasulullah saw,
adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah Muhammad Saw
2. Ali bin Abu Thalib Kw
3. Hasan al-Bashriy
4. Al-Gauts Habib al-Jami’
5. Dawud at-Tha’i
6. Ma’ruf al-Karkhi
7. Sir as-Saqatiy
8. Junaid al-Bagdadiy
9. Munsyid ad-Dainuriy
10. Ahmad Aswad ad-Dainuriy
11. Muhammad Ibn Abdullah
12. Umar bin Abdullah
13. Najib bin Abdullah
14. Muhammad al-Abhariy
15. Ruknuddin at-Thabrisyi
16. Syihabuddin at-Thabrisyi
17. Jamaluddin at-Thabrisyi
18. Ibrahim al-Kailani
19. Abdullah asy-Syarwani
20. Afandi Umar al-Khalwatiy
21. Yahya asy-Syirwani
22. Afandi Zubair ar-Rumiy
23. Muhammad al-Anshari
24. Abdullah al-Qarniy
25. Uwais al-Qarniy
26. Syamsuddin ar-Rumiy
27. Idrus ar-Rumiy
28. Yusuf Ya’qub al-Antabiy
29. Ahmad ar-Rumi
30. Waliy al-Habliy al-Ajniy
31. Ahmad bin Umar
32. Abu Barkah Ayyub al-Khalwatiy
33/1. Syekh Yusuf Abu al-Mahasin Tajul Khalwatiy al-Makassariy
Rahimahumullah
34/2. Abul
Fatih Abdul Bashir Tuang Rappang al-Khalwatiy
35/3. Abu
Sa’id al-Fadhil al-Khalwatiy
36/4. Abdul
Majid Nuruddin al-Khalwatiy
37/5. Sayyid Abdul Gaffar Assegaf al-Khalwatiy
38/6. Sayyid
Muhammad Zainuddin bin
Abdul Gaffar Assegaf al-Khalwatiy
39/7. Sayyid Ali Assegaf Petta Tila al-Khalwatiy
40/8. Sayyid
Hasan Assegaf Petta Bobba al-Khalwatiy
41/9. Sayyid
Ibn Hajar Assegaf Petta Sese al-Khalwatiy
42/10. Sayyid
Abdul Malik Assegaf Petta Rabba al-Khalwati
43/11. Syekh Sayyid Jamaluddin Assegaf Puang
Ramma
al-Khalwatiy
Qaddasallahu Sirrah
44/12. Syekh Sayyid Abd Rahim Assegaf Puang
Makka
D. Puang Ramma
Mursyid ke-11 dan Pendiri NU Sulsel
Nama lengkapnya, Allahu Yarham Syekh
Sayyid Jamaluddin Assegaf Puang Ramma al-Khalwatiy Qaddasallahu Sirrah, lahir 21 Juni 1919 M., wafat di kediaman nya Jalan Baji Bicara
Nomor 7 Makassar, Jum’at 15 Sya’ban 1427 H, bertepatan 8 September 2006 M, dan
dimakamkan di tempat kelahirannya, Tambua-Maros.
Puang Ramma dengan marga atau fam Assegaf menunjukkan
sebagai nasab (turunan leluhur) guru tarekat yang pertama
kali mengajar Syekh Yusuf Rahimahumullah di Bontoala, Sayyid Alwi
Assegaf yang kemudian dilanjutkan cucunya, Sayyid Abdul Gaffar Assegaf kepada
anaknya, Muhammad Zainuddin Assegaf dan seterusnya ke bawah. Induk fam Assegaf bermula dari
keluarga Alawiyin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladawilah Nasab ini menurunkan ulama-ulama sufi besar
bertaraf waliyullah melalui jalur Sayyidina Husein bin Ali Zawj Fatimah
al-Zahrah binti Nabiullah Muhammad Rasululullah saw. Kepastian bahwa Puang Ramma sebagai
keturunan Nabi saw secara biologis juga karena didahului dengan penamaan
sayyid yang dalam keseharian lazimnya disapah habib. Dengan demikian,
Puang Ramma bagian dari Ahlul Baiyt Rasulullah.
Puang Ramma menikah dengan Syarifah Mukminah binti
Ruhain Assegaf, dikaruniai 4 orang anak laki-laki, yakni Abdul Hamid Assegaf
Puang Cora, Abdul Majid Assegaf Puang Sikki, Abdul Rahman Assegaf Puang Tika,
Abdul Rahim Assegaf Puang Makka. Dari istri kedua, Syarifah Zainab Assegaf Puang
Ngai dikaruniai 2 anak perempuan, yakni Sayyidah Wahidah Assegaf dan Sayyidah
Wihdah Assegaf. Puang Ramma juga mengangkat seorang anak asuh, Abd. Malik
Assegaf.
Semasa kecil, Puang Ramma mengaji secara privat di
hadapan orangtuanya Sayyid Ahmad Ibn Hanbal Assegaf Puang Lau, kemudian
memperdalam ilmu agama di hadapan neneknya, Sayyid Abd. Malik Assegaf Petta
Rabba dan menerima ijazah tarekat darinya. Dari sang neneknya pula, Puang Ramma
belajar tentang dasar-dasar ilmu agama terutama bahasa Arab, kemudian secara
formal belajar kitab di Pesantren Pulau Salemo Pangkep.
Puang Ramma sejak tahun 1943, sering mengunjungi ulama
dalam rangka lebih memperdalam ilmunya, sehingga beliau akrab dengan ulama
sezamannya seperti AGH. K.H. Ahmad Bone, K.H. Muhammad Ramli dan bersama ulama
lainya mendirikan majelis ilmu di berbagai daerah, dan setelah memiliki banyak
jamaah mendirikan Rabithatul Ulama (RU), sebuah organisasi berbasis Ahlus
Sunnah wal Jamaah sebagai cikal bakal berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama
(NU) di Sulawesi Selatan.
Saat Puang Ramma menetap di Balang Baru tahun 1945, bergabung
dengan Lapris Lipang, organisasi keislaman di Bajeng Polong Bankeng, dan
mendapat kepercayaan sebagai Qadhi Jogayya Gowa tahun 1946. Saat itu, Puang
Ramma membuka pengajian rutin setiap ba’da Magrib di beberapa mesjid, terutama
di Mesjid Jami’ Sungguminasa.
Puang Ramma kemudian hijrah Kota Makassar sekitar
tahun 1950, dan mendiri kan lembaga pendidikan Perguruan Islam Nasrul Haq di
Jalan Sungai Walannae, juga mempelopori dibangunnya mesjid Miftahul Khaer, dan menjadi
Imam Mamajang Distrik Mariso. Selain itu, Puang Ramma menjadi Anggota CPM
Detasmen 71 Sulawesi dan mendapat amanah sebagai Tim Work Panitia Penolong
Tentara Indonesia (PPTI) yang dipimping oleh Bung Tomo.
Puang Ramma kemudian menunaikan ibadah haji tahun 1954
dan di sana, Tana Suci Mekah menggunakan kesempatan lebih memperdalam ilmu
agamanya di hadapan Allamah Syekh Muhammad Sanusi. Tidak lama sekembalinya dari
Mekah, Puang Ramma menjadi anggota Majelis Mahkamah Syariah Ujungpandang dan sebagai
Panitia Pembangunan Mesjid Raya Makassar, selanjutnya dipercaya menjadi anggota
Dewan Konstituante RI pada tahun 1955-1959. Di dewan inilah Puang Ramma
bersahabat dengan Buya Hamka, seorang ulama tenar yang telah menulis Tafsir
Azhar dan Tafsir al-Bayan.
Setelah menjadi Dewan Konstituante, Puang Ramma
kembali fokus pada pembinaan umat dan aktif mengajar di lembaga pendidikan
Nasrul Haq yang telah didirikannya,
serta bersama ulama lain memajukan dunia pendidikan Islam dengan
mendirikan Perguruan Islam DDI Mariso, juga mendirikan Perguruan Islam BPI Sambung
Jawa pada tahun 1965, dan menjadi perintis berdirinya Universitas Muslim
Indonesia (UMI) dan IAIN (sekarang UIN) Alauddin Makassar.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya 1971, Puang Ramma
dipercaya menjabat sebagai Hakim pada Pengadilan Agama Kabupaten Gowa, dan
terpilih menjadi anggota DPRD Tingkat I Propinsi Sulawesi Selatan, tahun
1972-1977.
Setelah menjadi anggota dewan legislatif, Puang Ramma
fokus pada pembinaan umat melalui Nahdlatul Ulama, pada ormas Islam terbesar
ini beliau dipercaya sebagai Rais Syuriah periode tahun 1977-1982 selanjutnya
menjadi mustasyar dan mursyid Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf al-Makassariy.
Sejak masa kecilnya, Puang Ramma dikenal orang yang
sangat disiplin waktu. Setiap selesai magrib beliau mengaji dan mengkhatamkan Al-Qur’an
setiap bulan nya. Rutinitas seperti ini telah menyatu dalam hidupnya baik
semasa aktif sebagai qadhi, imam, guru, anggota legislatif, Rais Syuriah dan
Mustasyar NU sampai menjadi mursyid tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf
al-Makassariy.
Di selah-selah kesibukannya, dan dalam kondisi apapun,
Puang Ramma selalu bangun tengah malam, sekitar jam 2.00 dini hari untuk
melaksanakan salat tahajjud, dan di pagi hari sekitar jam 9.00 melaksanakan
salat dhuha. Sudah menjadi komitmen pribadinya, bahwa delapan macam salat
menjadi kewajiban yang pantang untuk ditinggalkan, yaitu salat fardu lima kali
sehari semalam, salat witir sebelum tidur, salat tahajjud dan dhuha sebagaimana
yang disebutkan.
Setiap setelah salat tahajjud, Puang Ramma tidak tidur
lagi sampai terbitnya matahari karena intens berzikir sampai masuknya waktu
fajar dan bersiap menunaikan salat Shubuh, setelah itu mengamalkan wirid yang
menjadi amalan rutin tarekatnya, dan kebiasaan yang tidak pernah ditinggalkan
sampai hari tuanya setiap selesai salat Shubuh adalah jalan-jalan pagi untuk
bersilaturahim dengan tetangga dan masyarakat sekitar, sambil berolahraga
ringan seperti lari-lari kecil, dan saat berada di depan rumah seringkali meng-gunakan
waktu untuk ma’raga, setelah itu mandi dan mencuci pakaiannya sendiri,
serta sejenak menggunakan waktu istrahat untuk kemudian menunggu waktu yang
tepat melaksanakan salat dhuha.
Biasanya setelah salat dhuha, Puang Ramma duduk di
ruang tengah rumah, terkadang pula teras rumah, membaca kitab dan di saat-saat demikian
seringkali didatangi tamu. Pada tahun 1950-1970-an, sewaktu masih menetap di
Jalan Anuang tetamunya yang sering datang di kalangan ulama antara lain K.H.
Muhammad Ramli, dan K.H. Saifuddin, termasuk Buya Hamka jika ke Makassar pasti
mengunjungi Puang Ramma.
Puang Ramma kemudian pindah di Jl. Bicara Bicara tahun
1980-an, tetamunya yang sering datang antara lain adalah K.H. Muhammad Nur,
Habib Ali Ba’bud, K.H. Danial, K.H. Harun al-Rasyid, K.H. Hasyim Naqsyabandi,
Dr.K.H. Mustafa Zuhri, dan tokoh lain yang sering mengunjunginya adalah A.
Mappayukki, belakangan di era 1990-an adalah H. Muhammad Jusuf Kalla selalu
datang berdua dengan Aksa Mahmud. Ulama generasi belakangan yang sering datang
untuk belajar ke Puang Ramma sampai wafatnya adalah K.H. Abdurrahman B dan K.H.
Muh. Harisah AS.
Pada siang harinya, setelah salat dhuhur Puang Ramma
menggunakan waktu istrahat sampai memasuki salat ashar. Setelah itu, kembali
memanfaatkan waktunya untuk bersantai dengan keluarga dan kerabat, atau
terkadang pula keluar rihlah menikmati suasana kota Makassar dengan mengendarai
motor besarnya, Harlay Devidson. Begitu sekitar jam 17.00 sore kembali ke rumah
dan berzikir menunggu masuknya waktu magrib, selanjutnya membaca ayat Al-Qur’an
(tadarrus) sampai Isya’, dan biasanya isterahat malam setelah menonton
acara Dunia Dalam Berita di TVRI. Rutinitas yang tidak pernah ditinggalkannya
sebelum isterahat malam adalah mattale, membaca kitab-kitab sebagai
pengantar tidurnya dan diakhiri dengan salat witir.
Dalam keseharian Puang Ramma, terlihat dari penampilannya
yang sangat sederhana namun berwibawa, style pakaian yang digunakan adalah
sarung dan kemeja lengan panjang lengkap dengan sorbannya. Biasanya hanya
menggunakan sarung saat masuk kamar kecil, dan tidak mengenakan sarung tersebut
untuk salat. Saat makan, selalu memakai kopyah, makan disaat lapar dan
menyudahi sebelum keyang. Etika dan pola makan yang demikian ini, diterapkan
pula kepada anak-anaknya.
Puang Ramma dikenal sangat ketat dalam mendidik
anak-anaknya, dan menanamkan sikap kedisiplinan di dalam lingkungan
keluarganya. Beliau mewajib kan salat berjamah dan makan bersama di antara
keluarga. Jika kedatangan tamu, beliau makan bersama tamunya tanpa membedakan
status sosial siapa tamu tersebut, jika tetamunya adalah pejabat dan
sebagiannya adalah tamu dari kalangan masyarakat biasa, diajaknya makan bersama
dan lebih mendahulukan tetamunya mengambil prasmanan.
Puang Ramma memiliki kepribadian yang akomodatif,
tutur katanya sopan namun tegas, setiap kata dan kalimat yang terucap dari
mulutnya mudah dimengerti dan dipahami bagi yang mendengarnya, hal ini terutama
ketika menjadi khatib, membawakan ceramah, pengajian dan tausiah di
tengah-tengah masyarakat.
Sebagai waliyullah dan habibullah yang kedudukannya
sebagai ulama, guru tarekat, dan mursyid yang sangat disegani, Puang Ramma
memiliki khawaish dan karamah, bahkan karena ketokohan dan perjuangannya
sebagai sebagai murysid ke-11 tarekat khalawtiyah Yusuf al-Makassariy, tercatat
sebagai salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) di Sulawesi Selatan.
Jamaah
NU di Sulawesi Selatan pada awalnya, bernaung di bawah Rabithatul Ulama (RU),
didirikan pada 8 April 1950 atas prakarsa K.H Ahmad Bone, K.H Muhammad Ramli,
K.H. Jamaluddin Assegaf Puang Ramma, A. Mappayukki, K. H. Saifuddin, Mansyur
Daeng Limpo dan beberapa ulama sejawatnya.
Kepengurusan awal RA dipimpin oleh K.H.
Ahamd Bone sebagai ketua, K.H. Muhammad Ramli sebagai wakilnya. Sekretaris
dijabat oleh K.H Saifuddin, Qadhi Polewali, wakil sekretaris adalah K.H
Jamaluddin Assegaf Puang Ramma sebagai Qadhi Gowa saat itu, dan H. Mansyur
Daeng Limpo, mengetuai Bidang Pendidikan dan Dakwah, serta beberapa ulama
lainnya yang menjadi pengurus harian.
Pengurus RU kemudian menfasilitasi
terbentuknya Partai Nahdlatul Ulama di Sulawesi Selatan pada tahun 1952 atas
permintaan K.H Wahid Hasyim (waktu itu sebagai Menteri Agama dan Ketua PBNU).
Semua pengurus dan anggota Rabithatul Ulama bergabung ke NU dalam menegakkan
Islam Ahlussunnah Waljamaah di tanah Bugis-Makassar.
Setelah ulama-ulama yang disebutkan tadi
bergabung di NU, maka dengan sendirinya Rabithatul Ulama dinyatakan bubar, dan
dibentuklah pengurus baru NU Sulawesi Selatan dengan struktur yang sama dengan
Rabithatul Ulama yang disebutkan tadi. Dalam kepengurusan NU tersebut, Puang
Ramma sebagai wakil sekertaris dan diberi tugas khusus di Kabupaten Gowa untuk
memberikan masukan kepada pemerintah mengenai masalah-masalah keagamaan yang
muncul di tengah masyarakat.
Berkat kekuataan massa yang dimiliki,
Partai NU sebagai kunci kemenangan di Sulawesi Selatan pada Pemilu tahun 1955,
sekaligus memberi kontribusi sekitar 12 persen bagi keseluruhan suara NU di
tingkat nasional.
Puang Ramma dan K.H. Muhammad Ramli,
terpilih mewakili NU di dewan Konstituante (1956-1959) di Bandung. Saat menjalankan
tugas sebagai anggota dewan, K.H. Muhammad Ramli wafat pada 3 Februari 1958,
dan dimakamkan di Pemakaman Arab, Bontoala, Makassar. Sepeninggal ulama NU ini,
Puang Ramma tetap di dewan dan menjalankan tugas sampai akhir periode.
Selanjutnya Puang Ramma
mewakili NU di DPRD Sulawesi Selatan, dan sejak Muktamar NU ke-27 Situbondo,
yang menetapkan bahwa NU kembali ke khittah 1926, Puang Ramma, tidak
lagi menjadi anggota dewan, namun tetap konsen pada pengkhidmatannya terhadap
NU, sampai akhirnya Puang Ramma dipercaya sebagai salah seorang Rais Syuriah PWNU
Sulawesi Selatan tahun 1977-1982, dan sebagai mustasyar di PWNU
Sulawesi Selatan sampai akhir hayatnya