Selasa, 16 Februari 2016

Puang Makka Mursyid Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf al-Makassari



PUANG MAKKA SEBAGAI MURSYID TAREKAT 
DAN PENDIRI JAM’IYAH KHALWATIYAH SYEKH YUSUF AL-MAKASSARIY

Nama lengkapnya, Syekh Sayyid Abd Rahim Assegaf Puang Makka, lahir di Makassar, 14 September 1960, mursyid ke 12 Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf al-Makassariy pasca wafanya mendiang ayahnya Allahu Yarham KHS Jamaluddin Assegaf Puang Ramma.
Puang Ramma sebelum wafatnya memang telah membaiat tarekat anak-anaknya dan mengukuhkan mereka serta beberapa murid pilihanya menjadi khalifah sebagai bakal mursyid untuk melanjutkan tarekat yang diwarisinya. Khusus anak bungsunya, Puang Makka dibaiat dan diberi jazah tarekat tahun 1980.
Lima tahun setelah baiat, yakni sejak 1985, Puang Makka mengembara ke Pulau Jawa untuk memperdalam ilmu tarekat dan mengasah kesufiannya atas rekomendasi mendiang ayahnya.
Guru sekaligus ulama tarekat sebagai tempat belajar dalam pengembaraannya itu, adalah Habib Husen al-Habsiy di Probolinggo, Kraksaan. Kemudian mendapat rekomendasi untuk memperdalam lagi ilmunya di hadapan Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya di Pekalongan. Juga kepada Habib Husen Assagaf di Gersik, dan K. H. Mujni di Purwokerto.
Selain yang telah disebutkan, beberapa ulama lainnya di Jawa yang dijadikan tempat tabarruk dan dari ulama itu Puang Makka memperoleh ijazah tarekat, adalah KH. Mufid di Pandanaran, KH. Lutfi Hakim di Meranggen Demak, K.H. Dimyati di Tasik, K.H. Latifi Bedawi di Kodong Legi Malang, K.H. Abd. Karim di Porodadi, K.H. Abd. Majid di Probolinggo.
Sambil tabarrukan dan menerima ijazah tarekat dari beberapa ulama seperti yang disebutkan, Puang Makka juga nyantri di Pesantren Asshiddiqiyah, Kedoya Selatan Kebun Jeruk, yang diasuh K.H. Noer Muhammad Iskandar SQ. Sambil nyantri, Puang Makka intens mengikuti pengajian tasawuf pada Prof. Dr. Buya Hamka dan Dr. K. H. Idham Khalid di Jakarta.
Selanjutnya selama dua tahun, 1987-1989, Puang Makka kembali memperdalam ilmunya di hadapan Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya di Pekalongan, dan pada tahun 1989-1992 karena aktif sebagai salah satu unsur Ketua DPP GP Ansor, maka Puang Makka pindah ke Jakarta, namun dalam setiap waktu luangnya mengunjungi sang guru di Pekalongan.  
Puang Makka kemudian kembali ke Makassar pertengahan tahun 1993 dan memperdalam ilmunya lagi hadapan abahnya, mendiang Allahu Yarham Puang Ramma dan dua ulama tarekat, yakni Habib Thahir Assegaf dan Allamah K.H. Muhammad Nur Nashirur Sunnah.
Selama bertahun-tahun belajar di ulama tersebut, tibalah saatnya pada tahun 2001 Puang Makka terjung dalam dunia politik memimpin PKB atas amanah K.H. Abdurrahman Wahid (Gusdur), selanjutnya Puang Makka terpilih menjadi Anggota DPRD Kota Makassar.
Setelah menjadi anggota Dewan, Puang Makka dibaiat menjadi khalifah pada tahun 2002, di sinilah pertamakali Puang Makka mendapat amanah untuk membaiat jamaah di Parangloe Gowa mewakili ayahnya, Puang Ramma. Dalam posisinya sebagai khalifah, Puang Makka senantiasa men-dampingi ayahnya dalam berbagai kegiatan tarekat dan kegiatan lainnya terutama dalam berdakwah dan mengisi pengajian atau halaqah lainnya.
Pada tahun 2005, atau setahun sebelum wafatnya mendiang sang ayah (Jumat/15 Sya’ban 1427), Allahu Yarham Puang Ramma membaiat Puang Makka menjadi mursyid Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf al-Makassariy.
Sejak menjadi mursyid, Puang Makka mewakafkan waktunya, fulltime melayani jamaah, bahkan seringkali dikunjungi oleh banyak kalangan, tidak terkecuali pejabat, pengusaha dan politisi yang datang minta restu sekaligus doa keberkahan, sehingga jam istirahatnya sangat sedikit karena hampir setiap malamnya hanya tidur 2 jam apalagi karena sebagai mursyid, Puang Makka sesaat setelah melayani jamaah dan tetamunya, ia kembali disibukan beribadah dan mengamalkan kewajiban zikir tarekat di tengah malam sembari menunggu masuknya waktu subuh.
Sebagai mursyid yang memiliki insting kuat, hati yang bersih dan dengan melalui istikharahnya, maka Puang Makka mengadakan perubahan positif di internal Khalwatiyah Syekh Yusuf dengan menjadikan tarekat ini pada amaliah neo sufisme sehingga berinisiatif meng-himpun jamaah dan simpatisannya dalam wadah Jam’iyah sebagai ormas Islam yang selain konsen pada amalan tarekat juga fokus pada amaliah sosial dan kemasyarakatan.
Melalui Jam’iyah, atau lebih lengkapnya adalah Jam’iyah Khalwatiyah Syekh Yusuf al-Makassariy yang didirikan sejak tahun 2006, menjadikan jamaah lebih dekat mursyidnya, jamaah tidak mengkultuskan mursyid tetapi tetap menghargai dan menghormatinya.
Melalui Jam’iyah secara rutin dilaksanakan dialog, diskusi, kajian dan pengajian pendalaman tasawuf yang tidak saja terbatas bagi jamaahnya, tetapi terbuka untuk secara umum untuk seluruh masyarakat. Dalam waktu-waktu tertentu, Puang Makka membawa jamaahnya ke luar kota, misalnya di pengunungan Parangloe Gowa untuk berkhalwat dan mengadakan suluk.
Selain kesibukannya di Makassar, Puang Makka sampai saat ini masih sering ke Jawa dalam rangka tabarruk kepada gurunya, Maulana Muhammad Habib Lutfi bin Ali bin Yahya, Rais Am Jam’iyah Ahlit Thariqah al-Multabarah al-Nahdliah Nahdaltul Ulama (Jatman NU), yang juga sebagai tokoh sufi al-‘alamiy, ulama sufi internasional. Dari sang guru inilah Puang Makka dibaiat Tarekat Syazdiliyah dan dari sang gurunya itu, Puang Makka diijazahkan surban seukuran 6 meter, demikian pula atas rekomendasi sang guru, Puang Makka diberi amanah sebagai Rais Sadis Idharah Aliyah Jatman NU.
Posisi Puang Makka baik sebagai mursyid maupun sebagai pengurus pusat Jatman NU, memiliki jaringan yang luas dan karena itu di Makassar pula beliau aktif Silaturahim dengan tokoh-tokoh tarekat al-Muktabarah, Tarekat Khalwatiyah Samma, Syekh Puang Rukka, Tarekat Syadziliyah, Syekh Mustamin Arsyad, Tarekat Qadiriyah, Syekh Ilham Shaleh, pelanjut tarekat Qadiriyah sepeninggal Allahuyarham K.H. Sahabuddin, Syekh Syibli Sahabuddin, Khalifah Tarekat Naqsyabandiyah, Syekh Mahyuddin Jamsih. Pelanjut tarekat Hakikatul al-Muhammadiyah al-Sunusih AGH Harisah AS, dan adiknya Dr. AGH KH. Baharuddin HS.
Bahkan tokoh tarekat dari luar negeri, seperti Syekh Imam Adam Philander, cucu Syekh Yusuf di Cap Town Afrika Selatan pernah datang khusus ke Puang Makka untuk bersilaturahim sekaligus membicarakan tentang pengembangan jamaah Khalwatiyah Syekh Yusuf, di sana.
Dalam pada itulah di setiap kesempatan Puang Makka memperkenalkan  sekaligus mengembangkan Jam’iyah di berbagai daerah, sehingga jamaahnya tersebar bukan saja di Sulawesi tetapi melebar sampai ke Pulau Jawa dan Kalimantan serta selainnya, bahkan sampai ke luar negeri.
Jamaah Puang Makka yang terhimpun dalam Jam’iyah Khalwatiyah Syekh Yusuf al-Makassariy berdasarkan pengalamannya masing-masing, merasakan ketenangan lahiriyah dan kepuasan batin dikarenakan tausiahnya yang sejuk, dan fokus pada suluk ihsan secara istiqamah, konsen pada nilai-nilai zuhud, qana'ah serta maqam tasawuf lainnya yang lebih tinggi untuk sampai ke ma’rifat sembari lebih memaksimalkan ibadah sunat untuk kesempurnaan ibadah wajib.
Lebih dari itu, Puang Makka dalam mengijazahkan wirid, doa, dan amalan lainnya kepada jamaah, terutama untuk ijazah talqin zikir dan baiat, selalu diawalinya dengan salat istikharah dan tafakkur, sehingga terasa keberkahan apa saja yang diijazahkannya itu sebagai bekal hidup dunia akhirat. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa jamaah yang telah berbaiat darinya, senantiasa dinaunginya, melayani keperluannya dengan baik, memberikan solusi jika jamaah tersebut menghadapi problematika, lebih penting lagi adalah karena secara rutin Puang Makka senantiasa mendoakan jamaahnya sebelum tidur.
Pada intinya, Puang Makka sebagai mursyid, lebih mengutamakan hubungan secara lahirnya dan batiniyah dengan jamaahnya, menghilangkan skat-skat hijab jarak dengan jamaahnya sehingga antara mursyid dan jamaah melekat, tidak terpisahkan bagaikan dua sisi mata uang yang menyatu.
Lebih lanjut tentang profil dan kepribadian Puang Makka sebagai mursyid, serta berbagai tausiahnya maupun amaliah tarekatnya, dapat ditelusuri melalui link internet, klik Google lalu ketik Puang Makka. Di dunia medsos lainnya, follow Twitter @Puangmakka. Di Facebook, ikuti akun FB, Jam’iyah Khalwatiyah Syekh Yusuf al-Makassariy, atau buka buka situs Blogger @khalwatiyahy.

Mursyid Khalwatiyah Syekh Yusuf al-Makassar



Mursyid Tarekat Khalwatiyah
Syekh Yusuf al-Makassariy

A. Kedudukan Mursyid
Istilah mursyid dalam tarekat lebih akrab disebut pembimbing spiritual, yakni seorang imam sekaligus guru yang dapat mengantarkan jamaah untuk sampai kepada Allah (ma’rifatullah) sesuai ajaran al-Qur’an dan Sunnah.
Mursyid ini lazimnya juga disebut syekh, kedudukan nya sebagai imam yang bisa menunjukkan jamaahnya ke jalan benar dan menuntun jamaah dalam beribadah kepada Allah swt secara baik dan benar serta mencintai rasul-Nya.
Syarat utama seorang Mursyid memiliki silsilah sanad dan ilmu yang sampai kepada Rasulullah saw secara muttasil (saling berantai-sambung-menyambung, tidak terputus) dari guru-gurunya, mursyid ke mursyid sampai kepada Rasulullah saw.
Untuk mengenal dan memahami tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf secara muttasil itu, perlu dikemukakan secara ringkas biografi para mursyid tarekat yang memiliki pengaruh besar, yakni Syekh Yusuf Rahimahumullah dan mursyid setelahnya sampai Mursyid pada silsilah ke 11, Allahu Yarham Puang Ramma QS dan mursyid era sekarang, Puang Makka.

B. Syekh Yusuf Rahimahumullah
Nama lengkapnya, Syekh YĆ«suf AbĆ« al-Mạhāsin Hadiyatullāh Tāj al-KhalwatÄ«y al-MakassarÄ«y, lahir 3 Juli 1626 M/8 Syawal 1036 H, wafat 23 Mei 1699 M/22 Dzulqaidah 1110 H dalam usia 73 tahun berdasarkan perhitungan tahun Masehi.
Syekh YĆ«suf Rahimahumulah sejak kecil mulai khatam al-Qur’an, dan di tahun 1634 saat beliau berusia saat berusia 9 tahun, mulai belajar bahasa Arab, ManĆŁiq, Fikih, Tauhid dan lain-lain pada lembaga pendidikan Islam di Mesjid Bontoala yang diasuh langsung oleh Sayyid Ba’ Alwi Assegaf, atau di daerah ini sayyid tersebut lebih dikenal dengan nama Tuan Keramat.
Tahun 1641 atau saat Syekh Yusuf Rahimahumullah berusia 15 tahun, melanjutkan pelajarannya guna lebih memperdalam ilmu keagamaan di Cokoang berguru pada Sayyid Jalaluddin al-Aidid.
 Tahun 1644 atau saat Syekh Yusuf Rahimahumullah berusia 18 tahun, berangkat ke tanah suci untuk menunai-kan ibadah haji dan tentunya untuk lebih mengasah ilmu kesufiannya di hadapan beberapa ulama tarekat. Gurunya di Mekah adalah Sayyid Hasan bin Ali bin Umar bi Yahya al-Makki dan Sayyid Ibnu Abdullah Muhammad bin Muhammad Azzatii al-Naqsyabandiy. Sedangkan gurunya di Madinah adalah Sayyid Maulana Ibrahim bin Hasan bin Syihabuddin al-Kurdiy al-Madniy dan Sayyid Muhammad al-Marzu.
Syekh Yusuf Rahimahumullah berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan untuk lebih memper-dalam ilmunya di hadapan empat guru/ulama tarekat yang disebutkan di atas, karena berkat rekomendasi dari kedua gurunya, di Bontoala dan Cikoang. Sebelum berangkat, Syekh Yusuf Rahimahumullah menikah dengan Sitti Daeng Nisanga, putri Raja Gowa Tu Menanga ri Tappana.
Syekh Yusuf Rahimahumullah berangkat ke tanah suci pada hari Rabu tanggal 22/09/1645 bertepatan dengan 17 Rajab 1056. Dalam perjalanannya, sempat singgah di Banten dan Aceh kemudian saat tiba di tanah suci, Syekh Yusuf Rahimahumullah menyampaikan dua pucuk surat ke Mufti di Mekkah-Madinah. Surat tersebut dari kedua gurunya yang merekomendasikan, Sayyid Ba’Alwi di Bontoala dan Sayyid Jalaluddin di Cikoang. Dengan begitu, maka Syekh Yusuf Rahimahumullah mendapatkan pelayanan khusus terutama dalam menimbah ilmu di wilayah Timur Tengah dan sekitarnya.
Sebagai sufi yang tawadhu dan kharismatik, juga karena kehausannya terhadap ilmu tarekat, maka Syekh Yusuf Rahimahumullah tidak puas mencari guru, sehingga dari Mekah dan Madinah mengembara ke Yaman untuk belajar di hadapan Sayyid Muhammad ibn Wajih Assa’dy al-Yamani dan Sayyid Maulana Baqy al-Naqsyabandiy. Selanjutnya di Bagdad berguru pada Sayyid Abul al-Madniy, Sayyid Muhammad bin Fadlillah al-Burhan dan Sayyid Ayyubi bin Ahmad bin Ayyuby al-Khalwatiy.
Guru-guru Syekh Yusuf Rahimahumullah yang telah disebutkan, baik saat di belajar Bontola, Cikoang, Mekah, Madinah, Yaman dan Bagdad, semuanya sayyid dari garis keturunan Nabi Muhammad saw, mereka adalah cucu Rasululllah saw berdasarkan pengakuan Syekh Yusuf Rahimahumullah, yang ditulis dalam karyanya, Zubdatul Asrar, halaman 59.
Salah satu gurunya yang disebutkan, yakni Sayyid Ayyubi bin Ahmad bin Ayyuby al-Khalwatiy, mengijazah-kan tarekrat sekaligus gelar Hadiyatullah Taj al-Khalwatiy kepada Syekh Yusuf Rahimahumullah, sebuah gelar kemuliaan pengesahan untuk mengembangkan tarekat Khalwatiyah.
Sama halnya dengan penamaan AbĆ« al-Mạhāsin adalah  gelar  kehormatan yang lazim dianugerahkan kepada orang saleh, dan di daerah asalnya pertama kali belajar tarekat, yakni di Makassar digelar sebagai Tuanta Salamaka, tuan kita yang memperoleh berkah keselamatan.
Dengan gelar kehormatan dan karena kedalaman ilmu-nya maka Syekh Yusuf Rahimahumullah mendapat amanah sekaligus kepercayaan untuk mengajar selama 50 tahun di Jazirah Arabiah, di Yaman, Bagdad, Syiria, Mesir dan selainnya, sehingga murid-muridnya semakin banyak dan dalam berbagai kesempatan beliau menulis banyak buku dan risalah.
Buku dan risalah sebagai karya ilmiahnya di bidang tasauf yang terwarisnya sampai saat ini, antara lain Wahdah al-Muwahhidin, Safinat al-Najah, Sir al-Asrar, Taj al-Asrar, Zubdat al-Asrar, Nafhat al-Sailaniyah, al-Futuhat al-Arabaniah, al-Tuhfat Labib. Selain itu berbagai karya ilmiah untuk disiplin ilmu keagamaan ditulisnya saat Syekh Yusuf Rahimahumullah dalam pengasingan di Cape Town Srilangka Afrika Selatan sampai wafat dalam usia 73 tahun dan di makamnya di sana. Atas permintaan raja dan murid-muridnya, maka jenazah Syekh YĆ«suf kembali dimakam kan di Lakiung Gowa, tanggal 5 April 1705. Areal makamnya disebut Kobbang (bangunan kubah). Selain di Lakiung, dipercaya bahwa jenazah dan makam Syekh YĆ«suf Rahimahumullah tetap masih ada di Cape Town, Afrika Selatan. Bahkan dipercaya pula makamnya ada di Banten. Sejarah menyaksikan bahwa kesemua makam tersebut asli, karena utuh dengan jasadnya.
Khusus di Lakiung Gowa, saat jenazah Syekh Yusuf Rahimahumullah tiba dan peti jenazah tersebut dibuka, terlihat jasadnya utuh dan segar seperti orang yang baru meninggal kemudian diupacarakan dan dimakamkan
C. Mursyid/Masyayikh Pasca Syekh Yusuf
     Rahimahumullah
Pasca wafatnya Syekh Yusuf Rahimahumullah, murid dan pengikut, terutama mursyid, para khalifah setelahnya mengembangkan tarekat yang diwariskannya, bahkan saat masih dalam pengasingannya, murid sekaligus khalifah yang setia mendampinginya sejak di Mekkah, Abul Fatih Abdul Bashir Tuang Rappang, diutus ke Gowa-Makassar untuk misi tersebut.
Tuang Rappang tiba di Gowa tahun 1678 M, tepatnya 7 Muharram 1089 H, masa pemerintahan Raja Gowa ke-19, Sultan Abd al-Jalil (1677-1709). Di sini Tuang Rappang memulai misinya mengajarkan tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf di istana Kerajaan, kemudian berlanjut di kalangan ilmuan/ulama setempat.
Di istana kerajaan Gowa, Tuang Rappang mengangkat Sultan Abdul Qadir Karaeng Majannang sebagai badal khalifah, yang kelak kemudian hari menjadi mangkubumi Kerajaan Gowa pada masa raja ke 24, I Mallawa Gau Sultan Abdul Khaer (1735-1737). Karaeng Majannang inilah memiliki peran penting dalam mengembangkan Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf di petinggi Kerajaan Gowa dan di kalangan masyarakat makassar pasca Tuang Rappang.
Di istana Kerajaan Bone, Tuang Rappang mengangkat Sultan Alimuddin Idris Lapatau sebagai badal khalifah, Raja Bone ke-15 (1696-1714), kemenakan Arung Palakka yang memiliki peran penting dalam menyebarkan tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf di daerah Bugis.
Di kalangan ilmuan/ulama, Tuan Rappang meng-angkat Syekh Abu Said al-Fadhil sebagai badal khalifah, selanjutnya diwariskannya ke Syekh Abd. Majid Nuruddin. Keduanya ulama berasal Aceh, Sumatera yang belajar di Bontoala.
Syekh Abd. Majid Nuruddin kemudian memindahkan sekaligus mengembalikan ijazah tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf ke cucu Sayyid Ba’Alwi Assegaf, guru Syekh Yusuf Rahimahumullah, yakni Sayyid Abdul Gaffar Assegaf sebagai pelanjut kakeknya.
Sayyid Abdul Gaffar Assegaf sebagai mursyid dan Qadhi Bontoala (1759-1814), sekaligus pengasuh pengajian tasawuf di Bontoala, sebuah lembaga pendidikan tempat Syekh Yusuf Rahimahumullah belajar sebelumnya, meng-ijazahkan tongkat kemursyidan kepada anaknya, Sayyid Muhammad Zainuddin bin Abdul Gaffar Assegaf.
Sayyid Zainuddin Assegaf kemudian mengijazahkan kemursyidan Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf kepada dua putarnya, Sayyid Ali bin Zainuddin Petta Tila dan Sayyid Tajuddin bin Zainuddin Assegaf.
Petta Tila kemudian mengijazahkan kemursyidan Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf kepada anaknya, Sayyid Hasan Assegaf Petta Bobba, demikian pula Sayyid Tajuddin Assegaf mengijazahkan kepada anaknya, Ismail Assegaf.
Petta Bobba kemudian mengijazahkan kemursyidan Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf kepada anaknya Sayyid Ibn Hajar Assegaf Petta Sese, sedangkan Ismail Assegaf mengijazahkan kepada anaknya, Abdul Gaffar Assegaf.
Petta Sese kemudian mengijazahkan kemursyidan Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf kepada anaknya Abdul Malik Assegaf Petta Rabba, sedangkan Abdul Gaffar Assegaf mengijazahkan kepada anaknya Sayyid Ruhain Assegaf Tuang Makka, yang seorang putrinya bernama Syarifah Mukminah yang dipersunting oleh Syekh Sayyid Jamaluddin Assegaf Puang Ramma.
Petta Rabba kemudian mengijazahkan kemursyidan Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf kepada cucunya, Syekh Sayyid Jamaluddin Assegaf Puang Ramma, menantu Sayyid Ruhain Assegaf Tuang Makka.
Puang Ramma kemudian mengijazahkan kemursyidan Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf kepada anaknya, Syekh Sayyid Abd Rahim Assegaf Puang Makka, dan kepada saudara-saudaranya.
Berdasarkan data di atas, dipahami bahwa kemursyidan Puang Ramma memiliki silsilah dua jalur secara muttasil sampai ke bebuyutnya, Zainuddin Assegaf. Pertama, melalui silsilah tarekat neneknya dan yang kedua melalui silsilah nasab mertuanya, sebagaimana digambarkan (lihat insert gambar)


Selanjutnya secara lengkap silsilah sanad tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf al-Makassariy, pasca Syekh Yusuf Rahimahumullah dan sebelumnya sampai ke Rasulullah saw, adalah sebagai berikut:
1.  Rasulullah Muhammad Saw
2.  Ali bin Abu Thalib Kw
3.  Hasan al-Bashriy
4.  Al-Gauts Habib al-Jami’
5.  Dawud at-Tha’i
6.  Ma’ruf al-Karkhi
7.  Sir as-Saqatiy
8.  Junaid al-Bagdadiy
9.  Munsyid ad-Dainuriy
10. Ahmad Aswad ad-Dainuriy
11. Muhammad Ibn Abdullah
12. Umar bin Abdullah
13. Najib bin Abdullah
14. Muhammad al-Abhariy
15. Ruknuddin at-Thabrisyi
16. Syihabuddin at-Thabrisyi
17. Jamaluddin at-Thabrisyi
18. Ibrahim al-Kailani
19. Abdullah asy-Syarwani
20. Afandi Umar al-Khalwatiy
21. Yahya asy-Syirwani
22.  Afandi Zubair ar-Rumiy
23.  Muhammad al-Anshari
24.  Abdullah al-Qarniy
25.  Uwais al-Qarniy
26.  Syamsuddin ar-Rumiy
27.  Idrus ar-Rumiy
28.  Yusuf Ya’qub al-Antabiy
29.  Ahmad ar-Rumi
30.  Waliy al-Habliy al-Ajniy
31.      Ahmad bin Umar
32.      Abu Barkah Ayyub al-Khalwatiy
33/1.  Syekh Yusuf Abu al-Mahasin Tajul Khalwatiy al-Makassariy Rahimahumullah
34/2.  Abul Fatih Abdul Bashir Tuang Rappang al-Khalwatiy
35/3.  Abu Sa’id al-Fadhil al-Khalwatiy
36/4.  Abdul Majid Nuruddin al-Khalwatiy
37/5.  Sayyid Abdul Gaffar Assegaf al-Khalwatiy
38/6.  Sayyid Muhammad Zainuddin bin
Abdul Gaffar Assegaf al-Khalwatiy
39/7.  Sayyid Ali Assegaf Petta Tila al-Khalwatiy
40/8.  Sayyid Hasan Assegaf Petta Bobba al-Khalwatiy
41/9.  Sayyid Ibn Hajar Assegaf Petta Sese al-Khalwatiy
42/10. Sayyid Abdul Malik Assegaf Petta Rabba al-Khalwati
43/11. Syekh Sayyid Jamaluddin Assegaf Puang Ramma
           al-Khalwatiy Qaddasallahu Sirrah
44/12. Syekh Sayyid Abd Rahim Assegaf Puang Makka
D.         Puang Ramma Mursyid ke-11 dan Pendiri NU Sulsel
Nama lengkapnya, Allahu Yarham Syekh Sayyid Jamaluddin Assegaf Puang Ramma al-Khalwatiy Qaddasallahu Sirrah, lahir 21 Juni 1919 M., wafat di kediaman nya Jalan Baji Bicara Nomor 7 Makassar, Jum’at 15 Sya’ban 1427 H, bertepatan 8 September 2006 M, dan dimakamkan di tempat kelahirannya, Tambua-Maros.
Puang Ramma dengan marga atau fam Assegaf menunjukkan sebagai nasab (turunan leluhur) guru tarekat yang pertama kali mengajar Syekh Yusuf Rahimahumullah di Bontoala, Sayyid Alwi Assegaf yang kemudian dilanjutkan cucunya, Sayyid Abdul Gaffar Assegaf kepada anaknya, Muhammad Zainuddin Assegaf dan seterusnya ke bawah. Induk fam Assegaf bermula dari keluarga Alawiyin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladawilah  Nasab ini menurunkan ulama-ulama sufi besar bertaraf waliyullah melalui jalur Sayyidina Husein bin Ali Zawj Fatimah al-Zahrah binti Nabiullah Muhammad Rasululullah saw. Kepastian bahwa Puang Ramma sebagai keturunan Nabi saw secara biologis juga karena didahului dengan penamaan sayyid yang dalam keseharian lazimnya disapah habib. Dengan demikian, Puang Ramma bagian dari Ahlul Baiyt Rasulullah.
Puang Ramma menikah dengan Syarifah Mukminah binti Ruhain Assegaf, dikaruniai 4 orang anak laki-laki, yakni Abdul Hamid Assegaf Puang Cora, Abdul Majid Assegaf Puang Sikki, Abdul Rahman Assegaf Puang Tika, Abdul Rahim Assegaf Puang Makka. Dari istri kedua, Syarifah Zainab Assegaf Puang Ngai dikaruniai 2 anak perempuan, yakni Sayyidah Wahidah Assegaf dan Sayyidah Wihdah Assegaf. Puang Ramma juga mengangkat seorang anak asuh, Abd. Malik Assegaf.
Semasa kecil, Puang Ramma mengaji secara privat di hadapan orangtuanya Sayyid Ahmad Ibn Hanbal Assegaf Puang Lau, kemudian memperdalam ilmu agama di hadapan neneknya, Sayyid Abd. Malik Assegaf Petta Rabba dan menerima ijazah tarekat darinya. Dari sang neneknya pula, Puang Ramma belajar tentang dasar-dasar ilmu agama terutama bahasa Arab, kemudian secara formal belajar kitab di Pesantren Pulau Salemo Pangkep.
Puang Ramma sejak tahun 1943, sering mengunjungi ulama dalam rangka lebih memperdalam ilmunya, sehingga beliau akrab dengan ulama sezamannya seperti AGH. K.H. Ahmad Bone, K.H. Muhammad Ramli dan bersama ulama lainya mendirikan majelis ilmu di berbagai daerah, dan setelah memiliki banyak jamaah mendirikan Rabithatul Ulama (RU), sebuah organisasi berbasis Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai cikal bakal berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama (NU) di Sulawesi Selatan.
Saat Puang Ramma menetap di Balang Baru tahun 1945, bergabung dengan Lapris Lipang, organisasi keislaman di Bajeng Polong Bankeng, dan mendapat kepercayaan sebagai Qadhi Jogayya Gowa tahun 1946. Saat itu, Puang Ramma membuka pengajian rutin setiap ba’da Magrib di beberapa mesjid, terutama di Mesjid Jami’ Sungguminasa.
Puang Ramma kemudian hijrah Kota Makassar sekitar tahun 1950, dan mendiri kan lembaga pendidikan Perguruan Islam Nasrul Haq di Jalan Sungai Walannae, juga mempelopori dibangunnya mesjid Miftahul Khaer, dan menjadi Imam Mamajang Distrik Mariso. Selain itu, Puang Ramma menjadi Anggota CPM Detasmen 71 Sulawesi dan mendapat amanah sebagai Tim Work Panitia Penolong Tentara Indonesia (PPTI) yang dipimping oleh Bung Tomo.
Puang Ramma kemudian menunaikan ibadah haji tahun 1954 dan di sana, Tana Suci Mekah menggunakan kesempatan lebih memperdalam ilmu agamanya di hadapan Allamah Syekh Muhammad Sanusi. Tidak lama sekembalinya dari Mekah, Puang Ramma menjadi anggota Majelis Mahkamah Syariah Ujungpandang dan sebagai Panitia Pembangunan Mesjid Raya Makassar, selanjutnya dipercaya menjadi anggota Dewan Konstituante RI pada tahun 1955-1959. Di dewan inilah Puang Ramma bersahabat dengan Buya Hamka, seorang ulama tenar yang telah menulis Tafsir Azhar dan Tafsir al-Bayan.
Setelah menjadi Dewan Konstituante, Puang Ramma kembali fokus pada pembinaan umat dan aktif mengajar di lembaga pendidikan Nasrul Haq yang telah didirikannya,  serta bersama ulama lain memajukan dunia pendidikan Islam dengan mendirikan Perguruan Islam DDI Mariso, juga mendirikan Perguruan Islam BPI Sambung Jawa pada tahun 1965, dan menjadi perintis berdirinya Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan IAIN (sekarang UIN) Alauddin Makassar.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya 1971, Puang Ramma dipercaya menjabat sebagai Hakim pada Pengadilan Agama Kabupaten Gowa, dan terpilih menjadi anggota DPRD Tingkat I Propinsi Sulawesi Selatan, tahun 1972-1977.
Setelah menjadi anggota dewan legislatif, Puang Ramma fokus pada pembinaan umat melalui Nahdlatul Ulama, pada ormas Islam terbesar ini beliau dipercaya sebagai Rais Syuriah periode tahun 1977-1982 selanjutnya menjadi mustasyar dan mursyid Tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf al-Makassariy.
Sejak masa kecilnya, Puang Ramma dikenal orang yang sangat disiplin waktu. Setiap selesai magrib beliau mengaji dan mengkhatamkan Al-Qur’an setiap bulan nya. Rutinitas seperti ini telah menyatu dalam hidupnya baik semasa aktif sebagai qadhi, imam, guru, anggota legislatif, Rais Syuriah dan Mustasyar NU sampai menjadi mursyid tarekat Khalwatiyah Syekh Yusuf al-Makassariy.
Di selah-selah kesibukannya, dan dalam kondisi apapun, Puang Ramma selalu bangun tengah malam, sekitar jam 2.00 dini hari untuk melaksanakan salat tahajjud, dan di pagi hari sekitar jam 9.00 melaksanakan salat dhuha. Sudah menjadi komitmen pribadinya, bahwa delapan macam salat menjadi kewajiban yang pantang untuk ditinggalkan, yaitu salat fardu lima kali sehari semalam, salat witir sebelum tidur, salat tahajjud dan dhuha sebagaimana yang disebutkan.
Setiap setelah salat tahajjud, Puang Ramma tidak tidur lagi sampai terbitnya matahari karena intens berzikir sampai masuknya waktu fajar dan bersiap menunaikan salat Shubuh, setelah itu mengamalkan wirid yang menjadi amalan rutin tarekatnya, dan kebiasaan yang tidak pernah ditinggalkan sampai hari tuanya setiap selesai salat Shubuh adalah jalan-jalan pagi untuk bersilaturahim dengan tetangga dan masyarakat sekitar, sambil berolahraga ringan seperti lari-lari kecil, dan saat berada di depan rumah seringkali meng-gunakan waktu untuk ma’raga, setelah itu mandi dan mencuci pakaiannya sendiri, serta sejenak menggunakan waktu istrahat untuk kemudian menunggu waktu yang tepat melaksanakan salat dhuha.  
Biasanya setelah salat dhuha, Puang Ramma duduk di ruang tengah rumah, terkadang pula teras rumah, membaca kitab dan di saat-saat demikian seringkali didatangi tamu. Pada tahun 1950-1970-an, sewaktu masih menetap di Jalan Anuang tetamunya yang sering datang di kalangan ulama antara lain K.H. Muhammad Ramli, dan K.H. Saifuddin, termasuk Buya Hamka jika ke Makassar pasti mengunjungi Puang Ramma.
Puang Ramma kemudian pindah di Jl. Bicara Bicara tahun 1980-an, tetamunya yang sering datang antara lain adalah K.H. Muhammad Nur, Habib Ali Ba’bud, K.H. Danial, K.H. Harun al-Rasyid, K.H. Hasyim Naqsyabandi, Dr.K.H. Mustafa Zuhri, dan tokoh lain yang sering mengunjunginya adalah A. Mappayukki, belakangan di era 1990-an adalah H. Muhammad Jusuf Kalla selalu datang berdua dengan Aksa Mahmud. Ulama generasi belakangan yang sering datang untuk belajar ke Puang Ramma sampai wafatnya adalah K.H. Abdurrahman B dan K.H. Muh. Harisah AS.
Pada siang harinya, setelah salat dhuhur Puang Ramma menggunakan waktu istrahat sampai memasuki salat ashar. Setelah itu, kembali memanfaatkan waktunya untuk bersantai dengan keluarga dan kerabat, atau terkadang pula keluar rihlah menikmati suasana kota Makassar dengan mengendarai motor besarnya, Harlay Devidson. Begitu sekitar jam 17.00 sore kembali ke rumah dan berzikir menunggu masuknya waktu magrib, selanjutnya membaca ayat Al-Qur’an (tadarrus) sampai Isya’, dan biasanya isterahat malam setelah menonton acara Dunia Dalam Berita di TVRI. Rutinitas yang tidak pernah ditinggalkannya sebelum isterahat malam adalah mattale, membaca kitab-kitab sebagai pengantar tidurnya dan diakhiri dengan salat witir.
Dalam keseharian Puang Ramma, terlihat dari penampilannya yang sangat sederhana namun berwibawa, style pakaian yang digunakan adalah sarung dan kemeja lengan panjang lengkap dengan sorbannya. Biasanya hanya menggunakan sarung saat masuk kamar kecil, dan tidak mengenakan sarung tersebut untuk salat. Saat makan, selalu memakai kopyah, makan disaat lapar dan menyudahi sebelum keyang. Etika dan pola makan yang demikian ini, diterapkan pula kepada anak-anaknya.
Puang Ramma dikenal sangat ketat dalam mendidik anak-anaknya, dan menanamkan sikap kedisiplinan di dalam lingkungan keluarganya. Beliau mewajib kan salat berjamah dan makan bersama di antara keluarga. Jika kedatangan tamu, beliau makan bersama tamunya tanpa membedakan status sosial siapa tamu tersebut, jika tetamunya adalah pejabat dan sebagiannya adalah tamu dari kalangan masyarakat biasa, diajaknya makan bersama dan lebih mendahulukan tetamunya mengambil prasmanan. 
Puang Ramma memiliki kepribadian yang akomodatif, tutur katanya sopan namun tegas, setiap kata dan kalimat yang terucap dari mulutnya mudah dimengerti dan dipahami bagi yang mendengarnya, hal ini terutama ketika menjadi khatib, membawakan ceramah, pengajian dan tausiah di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai waliyullah dan habibullah yang kedudukannya sebagai ulama, guru tarekat, dan mursyid yang sangat disegani, Puang Ramma memiliki khawaish dan karamah, bahkan karena ketokohan dan perjuangannya sebagai sebagai murysid ke-11 tarekat khalawtiyah Yusuf al-Makassariy, tercatat sebagai salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) di Sulawesi Selatan.
Jamaah NU di Sulawesi Selatan pada awalnya, bernaung di bawah Rabithatul Ulama (RU), didirikan pada 8 April 1950 atas prakarsa K.H Ahmad Bone, K.H Muhammad Ramli, K.H. Jamaluddin Assegaf Puang Ramma, A. Mappayukki, K. H. Saifuddin, Mansyur Daeng Limpo dan beberapa ulama sejawatnya.
Kepengurusan awal RA dipimpin oleh K.H. Ahamd Bone sebagai ketua, K.H. Muhammad Ramli sebagai wakilnya. Sekretaris dijabat oleh K.H Saifuddin, Qadhi Polewali, wakil sekretaris adalah K.H Jamaluddin Assegaf Puang Ramma sebagai Qadhi Gowa saat itu, dan H. Mansyur Daeng Limpo, mengetuai Bidang Pendidikan dan Dakwah, serta beberapa ulama lainnya yang menjadi pengurus harian.
Pengurus RU kemudian menfasilitasi terbentuknya Partai Nahdlatul Ulama di Sulawesi Selatan pada tahun 1952 atas permintaan K.H Wahid Hasyim (waktu itu sebagai Menteri Agama dan Ketua PBNU). Semua pengurus dan anggota Rabithatul Ulama bergabung ke NU dalam menegakkan Islam Ahlussunnah Waljamaah di tanah Bugis-Makassar.
Setelah ulama-ulama yang disebutkan tadi bergabung di NU, maka dengan sendirinya Rabithatul Ulama dinyatakan bubar, dan dibentuklah pengurus baru NU Sulawesi Selatan dengan struktur yang sama dengan Rabithatul Ulama yang disebutkan tadi. Dalam kepengurusan NU tersebut, Puang Ramma sebagai wakil sekertaris dan diberi tugas khusus di Kabupaten Gowa untuk memberikan masukan kepada pemerintah mengenai masalah-masalah keagamaan yang muncul di tengah masyarakat.
Berkat kekuataan massa yang dimiliki, Partai NU sebagai kunci kemenangan di Sulawesi Selatan pada Pemilu tahun 1955, sekaligus memberi kontribusi sekitar 12 persen bagi keseluruhan suara NU di tingkat nasional.
Puang Ramma dan K.H. Muhammad Ramli, terpilih mewakili NU di dewan Konstituante (1956-1959) di Bandung. Saat menjalankan tugas sebagai anggota dewan, K.H. Muhammad Ramli wafat pada 3 Februari 1958, dan dimakamkan di Pemakaman Arab, Bontoala, Makassar. Sepeninggal ulama NU ini, Puang Ramma tetap di dewan dan menjalankan tugas sampai akhir periode.
        Selanjutnya Puang Ramma mewakili NU di DPRD Sulawesi Selatan, dan sejak Muktamar NU ke-27 Situbondo, yang menetapkan bahwa NU kembali ke khittah 1926, Puang Ramma, tidak lagi menjadi anggota dewan, namun tetap konsen pada pengkhidmatannya terhadap NU, sampai akhirnya Puang Ramma dipercaya sebagai salah seorang Rais Syuriah PWNU Sulawesi Selatan tahun 1977-1982, dan sebagai mustasyar di PWNU Sulawesi Selatan sampai akhir hayatnya